Sobat. Anda melihat orang congkak dan ahli maksiat tertipu dengan kekuatannya dan bertanya, “ Mengapa Allah tidak menghukum saya?” Wahai orang bodoh, hukuman apa yang lebih keras daripada apa yang Anda alami? Jenazah lewat di depan mata anda tetapi anda tidak mengambil pelajaran darinya. Anda mendengar ayat berbicara tentang kematian, tetapi Anda tidak mengambil pelajaran.
Sobat. Anda melihat orang miskin, tetapi hati Anda tidak iba kepadanya. Lalu Anda masih bertanya: Di mana hukuman itu? Hukuman apa yang lebih berat daripada berubahnya hati seseorang menjadi kuburan?
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “ Seorang hamba tidak dijatuhi hukuman yang lebih besar daripada kerasnya hati.”
Allah SWT berfirman :
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦۚ فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” ( QS. Az-Zumar (39) : 22 )
Sobat. Ayat ini menegaskan bahwa tidaklah sama orang yang telah dibukakan Allah hatinya sehingga menerima agama Islam, dengan orang yang sesat hatinya, sehingga ia mengingkari kebenarannya.
Hati orang tersebut telah melihat kekuasaan dan kebesaran Allah dalam keindahan dan keajaiban alam ini, lalu terbukalah hatinya menerima pancaran cahaya dari nur Ilahi. Sebaliknya orang-orang yang sesat hatinya, tidak melihat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah dalam kejadian alam ini, mereka menyangka kejadian tersebut tidak lain dari suatu proses kejadian alam itu sendiri, tanpa ada yang mengaturnya. Mereka merasa sanggup mengubah atau memperbaiki proses kejadian tersebut. Hal ini disebabkan karena kebodohan dan pandangan mereka yang picik sehingga hati mereka tetap tertutup, dan tidak memungkinkan masuknya pancaran nur Ilahi ke dalam hatinya. Kedua macam orang itu tentulah tidak sama. Pada ayat yang lain, Allah menegaskan tentang ketidaksamaan kedua macam orang itu. Allah berfirman:
أَوَ مَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (QS.al-An'am/6: 122)
Ibnu 'Abbas meriwayatkan, "Di antara orang yang telah dilapangkan Allah dadanya menerima agama Islam, ialah Abu Bakar r.a. Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ia berkata:
Rasulullah saw membaca ayat ini, lalu kami bertanya, "Ya Nabi Allah, bagaimana hati yang terbuka itu?" Beliau menjawab, "Apabila cahaya menerangi hati, maka ia menjadi terbuka dan lapang." Kami bertanya, "Apakah tanda yang demikian itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menghadapkan diri kepada kehidupan negeri yang abadi dan menjauhkan diri dari kehidupan negeri yang penuh tipuan dan mempersiapkan diri untuk mati sebelum kematian itu datang." (Riwayat Ibnu Mardawaih)
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu 'Umar, ia berkata:
Bahwa seseorang berkata, "Ya Rasulullah, orang mukmin yang manakah yang paling baik?" Rasulullah menjawab, "Mereka yang banyak mengingat mati dan paling banyak persiapannya untuk mati itu, dan bilamana cahaya menyinari hatinya, maka hati itu terbuka dan menjadi lapang." Para sahabat bertanya, "Apa tandanya yang demikian itu ya Nabi Allah?" Nabi menjawab, "Menghadapkan diri kepada negeri yang abadi dan menjauhkan diri dari negeri yang penuh dengan tipuan dan menyiapkan diri untuk mati sebelum kematian itu datang."
Adapun orang-orang yang kasar hatinya dan membatu akan mengalami kecelakaan yang besar disebabkan sikap mereka yang keras kepala tidak mau ingat kepada-Nya. Seharusnya hati mereka menjadi lembut bila nama Tuhan disebut di hadapan mereka, tetapi muka mereka hitam muram bila mendengar nama Allah disebut dan hati mereka bertambah keras membatu.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu 'Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
Janganlah kamu memperbanyak pembicaraan tanpa menyebut nama Allah, karena banyak bicara tanpa menyebut nama Allah menyebabkan hati menjadi keras. Dan sesungguhnya orang yang paling jauh dari Allah ialah orang yang keras hatinya."
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa orang yang hatinya keras itu adalah orang yang buta mata hatinya, mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata. Setiap orang dengan mudah mengetahui keburukan mereka itu.
Sobat. Sabab Nuzul QS Al-An’am ayat 122 diriwayatkan oleh Abu Syaikh dari Ibnu 'Abbas dalam firman Allah, beliau mengatakan bahwa ayat ini turun pada Umar dan Abu Jahal.
Dalam rangka menampakkan perbedaan antara kaum Muslimin dari orang-orang kafir, Allah mengemukakan pertanyaan, yaitu apakah orang-orang yang mati hatinya karena kekufuran dan kebodohan lalu Kami hidupkan hatinya dengan keimanan dan Kami berikan pula kepadanya cahaya, yaitu Al-Qur'an yang terang benderang, sama keadaannya dengan keadaan orang yang berada dalam kegelapan yang berlapis-lapis? Ia tidak dapat keluar dari kegelapan itu. Dirinya diliputi dengan ketakutan, kelemahan dan kebingungan. Demikian pula seorang yang berada dalam kebodohan, taklid yang buta dan kerusakan pikiran, tidak dapat keluar lagi dari hal yang demikian itu. Ia merasa takut keluar dari gua kesesatannya dan merasa tidak perlu untuk keluar kepada petunjuk yang terang benderang karena matanya silau oleh cahaya petunjuk itu.
Sobat. Maka sepantasnyalah setiap muslim untuk selalu mencari dan menggunakan ilmu pengetahuan dalam segala hal. Ia harus mengetahui kebenaran agamanya dengan penuh keyakinan sehingga ia mantap dalam melakukan amal-amal kebajikan, dan dapat menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya.
Dengan demikian, ia akan menjadi mercusuar yang mencerminkan keyakinan yang kuat dan hujjah yang nyata, memperlihatkan keutamaan agamanya kepada pemeluk agama-agama yang lain.
Begitulah Allah telah menjadikan orang beriman memandang baik kepada cahaya petunjuk dan agama yang telah menghidupkan hatinya. Sebaliknya Allah telah menjadikan orang-orang kafir memandang baik apa saja yang mereka kerjakan, seperti berbuat dosa dan pelanggaran memusuhi Rasul, menyembelih kurban untuk selain Allah dan mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya dan sebagainya. Semua itu mereka lakukan disebabkan oleh tipu daya setan yang membisikkan bujukan itu ke dalam hati mereka. Contoh nyata dari orang yang tidak beriman dan menolak hidayah Allah adalah Abu Jahal.
Sobat. Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya : Pertama. Allah akan memahamkannya tentang agama. Kedua. Allah akan menjadikannya zuhud terhadap kehidupan dunia. Ketiga. Allah akan menjadikannya sadar akan kekurangan dirinya.
Jibril As berkata, “ Allah mencintai tiga hal pada diri hamba-Nya, yaitu upaya kuat hamba melaksanakan ketaatan, tangisan hamba menyesali maksiat yang dilakukan, dan kesabaran hamba menghadapi kefakiran.”
Sobat. Di sinilah pentingnya kita mengenali sifat-sifat Allah ( makrifatullah ) dan buahnya adalah :
1. Rasa malu kepada Allah. Yakni keteguhan hati untuk tidak melakukan perbuatan maksiat pada Allah SWT.
2. Rasa cinta kepada-Nya. Yakni cinta pada pahala dan Ridha-Nya.
3. Rindu berjumpa dengan-Nya. Yakni Keinginan hati yang kuat untuk dapat melihat keindahan Allah di surga.
Sobat. Baginda Rasulullah SAW bersabda, “ Bukti cinta dapat diketahui dengan tiga hal, yaitu : Pertama. Lebih memilih perkataan sang Kekasih ( Al-Qur’an) daripada perkataan lain. Kedua. Lebih memilih bercengkerama dengan sang Kekasih daripada bercengkerama dengan selain-Nya. Ketiga. Lebih memilih ridha sang Kekasih daripada ridha selain-Nya.” Maka Yahya bin Mu’adz mengatakan, “ Setitik benih cinta kepada Allah lebih aku sukai daripada pahala mengerjakan ibadah tujuh puluh tahun.”
( DR Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur )